Rahasia Dapur Rahasia Goyangannya - Sejak aku dan Eksanti
memiliki keberanian untuk bercinta di tempat kostnya, aku semakin sering
mampir ke sana. Eksanti sendiri nampaknya juga tidak terlalu khawatir
bahwa teman-teman di kostnya akan curiga dengan hubungan kami. Toh
banyak pula diantara mereka yang sering mengundang pacarnya untuk
menginap di tempat kost itu.
Selain itu, hubungan Eksanti dengan Mas Yoga-nya juga belum terlalu membaik.
Sebenarnya Eksanti sendiri juga sudah mulai melupakan 'pengkhianatan'
yang dilakukan Yoga, dan mau saja ia memaafkannya. Bagaimanapun Eksanti
juga merasa telah melakukan hal yang sama terhadap Yoga, dengan menerima
kehadiranku di sisinya. Yoga sendiri, walaupun masih sangat mencintai
Eksanti, namun belum memiliki keberanian untuk datang menemui Eksanti
kembali. Seperti kejadian malam itu..
Eksanti mengundang aku untuk datang ke tempat kostnya Jumat siang itu, ia akan
memasak nasi goreng sosis kesukaanku. Eksanti juga mengatakan di
telepon, dengan suara manjanya, bahwa aku bukan hanya diundang makan
malam. Aku juga diminta untuk menemani rasa sepinya dengan menginap di
sana. Aku terbahak mendengar ucapan Eksanti yang terus terang itu.
Permintaan Eksanti memang masuk akal. Akhir minggu itu memang hari-hari
terakhir menjelang libur panjang akhir tahun, sehingga seluruh
teman-teman kostnya telah pulang ke daerah asal mereka masing-masing.
Sementara, ibu kost meminta Eksanti tinggal sampai dengan hari Minggu
malam untuk menjaga rumah, karena mereka sekeluarga akan pergi ke
Bandung untuk menghadiri acara resepsi pernikahan salah satu saudaranya.
Sehingga akhirnya hanya ada Eksanti seorang diri di pavilion kost,
sementara soerang pembantu lain tinggal di rumah induknya.
Ketika
aku tiba di rumah kost Eksanti, ia tampak sedang menyiapkan nasi goreng
sosis di sebuah pantry kecil di dalam pavilion itu. Ia segera
menawarkan minuman kepadaku dan mempersilakan aku untuk mengambilnya
sendiri dari dalam kulkas kecil di sudut pantry itu. Aku memilih
sekaleng coca cola kesukaanku. Sambil mengobrol kiri-kanan, Eksanti
meminta maaf kepadaku, karena ia harus kembali bekerja di pantry untuk
menyiapkan makanan.
Aku mengatakan, "Nggak masalah, Santi ", lalu ikut menyusulnya ke pantry yang terletak di bagian belakang kamarnya.
Aku
berdiri di pintu pantry dengan sekaleng coca cola dingin di tanganku,
melihat Eksanti sibuk mencuci sayuran segar untuk pelengkap nasi
gorengku nanti, di sebuah pinggan keramik bermotif ikan-ikan kecil
warna-warni. Pantry di rumah kost Eksanti, walaupun ukurannya relatif
kecil tetapi sangat bersih. Di tengah-tengah ruangannya terdapat sebuah
meja, tempat Eksanti saat ini menyiapkan masakannya itu. Tubuhnya
membelakangiku, hanya dibungkus rok span pendek dari kain tipis dan
badannya dibalut kaos tanpa tangan. Sambil berbicara kesana-kemari, aku
diam-diam memandangi tubuh itu. Jelas sekali, tubuhnya yang
menggairahkan itu tidak memakai sepotong pakaian dalam pun. Tidak ada
celana dalam, tidak ada bra. Kain tipis yang dipakai sebagai rok itu,
tak mampu melindungi cahaya menerawang, memperlihatkan bayangan dua paha
yang mulus. Kaosnya juga terlalu sempit, tidak bisa menyembunyikan
keindahan payudaranya yang padat membusung itu.
Pemandangan
seperti itu adalah magnet yang amat kuat, menarikku untuk segera
mendekat. Diam-diam aku meletakkan kaleng minumanku, lalu berjalan tanpa
suara. Sekejap aku sudah sampai di belakang Eksanti, dekat sekali..
sehingga seluruh harum tubuhnya tercium dengan jelas. Lalu aku mencium
tengkuknya.
"Hei..!" Eksanti menjerit kaget, "Mas, jangan nggangguin Santi dong.., ntar makanannya jadi nggak enak lho!".
Aku
tidak peduli. Aku terus menciumi tengkuk yang dipenuhi rambut-rambut
hitam halus itu. Harum sekali tengkuk itu. Eksanti menggeliat, mencoba
menghindar. Tetapi nyatanya ia tidak sungguh-sungguh menghindar. Cuma
bergerak-gerak sedikit saja. Apalagi aku kini mendesak ke depan,
menyebabkan Eksanti terjepit di antara tubuhku dan meja pantry-nya.
Tanganku mengusap-usap bukit indah di belakang Eksanti, sesekali
meremasnya. Tanganku yang lain telah merayap ke depan, menjamah sebuah
payudara Eksanti yang bergoyang-goyang seksi setiap kali ia
menggelinjang.
"Oocch, Mas.. jangan
sekarang..," Eksanti mendesah, menggerak-gerakan bahunya mencoba
menhindari ciumanku di sepanjang pangkal lehernya.
Tetapi dalam hatinya, ia berkata lain, dan berharap aku tidak segera mengakhirinya.
Aku
memang tidak berhenti. Tanganku merayap ke bawah, menyingkap rok yang
dikenakan Eksanti. Memang betul, ia tidak bercelana dalam, dan
pemandangan indah segera terpampang. Eksanti memiliki bagian belakang
yang mempesona, kenyal-padat dan menonjol mengundang selera. Dengan
gemas aku meremas-remas, membuat Eksanti menjerit kecil sambil menahan
geli. Kedua tangan Eksanti kini tak bisa meneruskan pembuatan nasi
gorengnya, dan berpegangan di bibir meja, antara bertahan dan menyerah.
Dengan jari tengahku, aku menelusuri celah sempit di antara dua bukit
kenyal di bokong yang seksi itu. Eksanti menggelinjang merasakan
kenikmatannya mulai terbangun di bawah sana. Apalagi lalu jari itu
semakin lama semakin ke bawah, lalu agak ke depan, menyelinap ke gerbang
kewanitaannya dari belakang. Wow! Eksanti merenggangkan kedua pahanya,
tidak tahan mendapat perlakuan seperti itu.
Sementara
tanganku yang lain kini masuk menelusup ke kaos Eksanti, menjalar
menuju bukit payudaranya yang membusung. Oocch.., hangat sekali telapak
tanganku merayapi perutnya, naik ke bagian bawah dadanya, lalu
menyelinap di antara kedua payudaranya, sebelum akhirnya naik ke salah
satu puncaknya.
Eksanti
menggeliat dan mengerang pelan ketika telapak tangan itu berputar-putar
ringan di atas puting susunya. Oocch.., geli sekali rasa puncak-puncak
payudara Eksanti, membuat tubuhnya bergetar pelan. Kepala Eksanti
berputar-putar seperti seorang olahragawan sedang warming up, karena
bibirku menjalari lehernya, mengendus-endus tengkuknya lagi, membuat
Eksanti kegelian.
Tiba-tiba
aku membalikkan tubuh Eksanti, membuat ia menjerit kaget. Dengan
segenap kekuatanku, aku sanggup memutar tubuh rampingnya dengan cepat.
Tidak itu saja, aku bahkan sudah mengangkat Eksanti dan mendudukkannya
di atas meja pantry yang di sana-sini dipenuhi bahan-bahan mentah
masakannya: nasi putih, sosis, sayuran, sambal, saus tomat, minyak dan
mentega. Lalu, aku berjongkok, dan Eksanti tahu apa yang akan aku
lakukan. Dengan gerak cepat, aku menyingkap roknya, sehingga membuat
kewanitaannya terpampang bebas dalam terang lampu pantry yang bagai
siang hari. Jelas sekali terlihat kewanitaan Eksanti yang terbalut
bulu-bulu hitam lebat tetapi sangat rapi karena baru dicukur, harum
karena baru dibasuh sabun wangi.
Bentuknya
menyerupai buah ranum dengan belahan di tengah, menggiurkan sekali.
Belahan itu lah yang segera aku ciumi, akut telusuri dengan lidahku,
membuat Eksanti merintih nikmat dan memperlebar kangkangannya. Aku pun
membantu dengan tanganku, mendorong kedua paha Eksanti agar lebih jauh
terbuka.
Kewanitaan
Eksanti seperti direntang, kedua bibir-bibirnya yang tebal itu terkuak,
menampakkan lembah merah-muda yang halus seperti sutra dan licin
seperti diminyaki. Aku menjilati bagian yang terkuak itu,
mendesak-desakkan lidahku yang panjang ke dinding-dinding kewanitaan
Eksanti, menimbulkan perasaan yang tak terperi dalam dirinya.
"Occhh.., acchh.., ngg..," cuma itu yang bisa keluar dari mulut Eksanti.
Ia tidak tahu bagaimana mengungkapkan kenikmatan yang sedang dirasakannya.
Eksanti
tak kuasa menahan tubuhnya rebah di meja pantry. Untunglah meja itu
cukup lebar untuk menampung seluruh badannya, walau kedua kakinya tetap
bergelantungan, disangga oleh bahuku. Rasa geli dan nikmat menjalar ke
seluruh tubuh Eksanti, meletup-letup seperti air mendidih. Apalagi
ketika lidahku bermain-main di daging kecil yang menonjol dalam lempitan
bagian atas kewanitaannya. Aku menggunakan jari-jariku untuk menguak
persembunyian "Si Kecil Merah" itu, menarik ke atas kulit tebal yang
menyembunyikannya, sehingga tonjolan kecil yang berdenyut-denyut lemah
itu kini bebas terbuka. Dengan ujung lidahku, aku menjilati si kecil,
mengirimkan sejuta kenikmatan yang menjalar cepat ke seluruh tubuh
Eksanti, membuat wanita itu merintih-rintih dan mengerang keras. Salah
satu tangan Eksanti tak sengaja menyentuh botol saus tomat, menyebabkan
isinya tumpah di atas meja. Terkejut, Eksanti bangkit dan memintaku
berhenti sebentar. Bukan saja ia ingin menghentikan tumpahan saos tomat,
tetapi ia juga punya ide cemerlang!
Aku menghentikan ciumanku, sambil tetap menyenderkan kepalaku di paha Eksanti yang putih mulus itu.
Lalu aku mendengar Eksanti berkata, "Kita main-main dulu yaa.., Mas?"
Belum
lagi aku menjawab dan mengerti apa maksud ucapannya, Eksanti telah
menuangkan saos tomat ke kewanitaannya. Tersentak, aku mengangkat
wajahku dan memandang takjub, melihat saos tomat berleleran keluar dari
botol dan memenuhi celah kewanitaan Eksanti. Acch,.. sebuah permainan
baru!
"Mas, bersihkan saus tomat itu dengan mulutmu, please..," desah Eksanti nyaris tak terdengar.
Tanpa banyak bicara, aku langsung menjilati saos tomat itu. Eksanti mendesah, memandangi kewanitaannya dilahap oleh mulutku. Oocch.., menggiurkan sekali pemandangan itu. Nikmat sekali rasanya "dimakan" seperti itu, dibumbui saos tomat. Eksanti mengerang, merasakan orgasme pertamanya akan segera tiba. Ia merebahkan kembali tubuhnya ketika aku tidak lagi hanya menjilat, tetapi juga mengulum-ngulum "Si Merah Kecil" yang dipenuhi saos tomat, menyedot-nyedotnya seperti hendak membuatnya licin bersih. Seketika, Eksanti merasakan klimaks yang bergelora menyergap seluruh tubuhnya, dimulai dari selangkangannya dan menyebar cepat ke atas, membuatnya menggelepar-gelepar seperti ikan kehabisan air. Aku terus menyedot, mengulum, mengunyah-ngunyah. Eksanti berteriak-teriak kecil, tak tahan menerima kenikmatan yang bertubi-tubi itu.
Lalu permainan kami semakin menggila. Semakin spontan. Aku menemukan sebuah sosis matang tergeletak di dekatnya. Aku mengambil sosis sebesar ibu jari itu, dan sebelum Eksanti tahu apa yang terjadi, sosis itu telah melesak ke dalam kewanitaannya. Tadinya, Eksanti mengira itu salah satu jariku, dan ia mengerang merasakan kenikmatan diterobos daging licin. Tetapi dengan takjub ia kemudian sadar bahwa "jari" itu perlahan-lahan aku makan, aku tarik keluar sedikit-demi-sedikit. Eksanti bangkit lagi, memandangiku dengan lahap memakan sosis yang agak basah berlumuran cairan cintanya. Aacch.., menggairahkan sekali pemandangan itu. Dengan segera Eksanti mengambil lagi sebuah sosis. Ketika sosis pertama selesai aku makan, dengan segera Eksanti memasukkan sosis yang baru. Dengan cepat sosis ini aku makan pula. Lalu yang ketiga. Keempat..
Eksanti meregang merasakan kenikmatan yang unik menyerbu tubuhnya. Orgasme datang lagi bertubi-tubi, sementara aku merasa birahiku semakin meningkat setelah menikmati sosis yang fresh from the oven itu!
Aku bangkit, mengeluarkan kejantanan dari celanaku. Besar dan tegang sekali kejantananku. Eksanti melirik ke bawah dari posisi berbaringnya.. Oocch, memandang kejantananku saja sudah cukup memberinya semangat baru. Eksanti sangat menyukai milikku yang satu itu, sangat kenyal dan kuat, mampu bertahan dalam percumbuan yang panjang menggairahkan. Sambil mengerang, Eksanti membuka kedua pahanya lebih lebar lagi, meletakkan tumit-tumitnya di pinggir meja. Dengan posisi seperti ini, Eksanti bagai hewan kurban yang siap disembelih, di atas altar kenikmatan yang dipenuhi bahan-bahan masakan!
Pelan-pelan aku menuntun kejantananku memasuki gerbang kewanitaannya. Kenyal sekali liang yang basah oleh aneka cairan itu, termasuk saos tomat dan kuah sosis. Aku mula-mula menggosok-gosokan bagian kepala dari kejantanannya yang telah membesar itu. Oocch.., Eksanti merasakan kegelian yang amat-sangat, membuatnya bergidik-bergeletar.
Lalu, perlahan-lahan aku mendorong kejantanannya masuk. Perlahan sekali, mili demi mili batang-otot yang panas-berdenyut itu melesak ke dalam.
"Ah.. acchh.. acchh.. acchh.." Eksanti mengerang setiap kali kejantananku menerobos masuk. Setiap mili gerakanku menimbulkan percikan nikmat, sehingga ketika akhirnya seluruh kejantanan itu tenggelam di dalam kewanitaannya, Eksanti langsung mencapai orgasme ketiganya. Cepat sekali puncak birahi itu datang bergantian. Padahal aku belum lagi bergerak maju-mundur.
Aku lalu menaburkan sayuran yang tadinya tengah dicuci dan dipersiapkan sebagai pelengkap nasi goreng di atas dada Eksanti yang sedang berguncang-guncang. Warna hijau, kuning dan merah segera menghiasi tubuh putih mulus itu. Eksanti kegelian merasakan daun-daun yang basah dan dingin melekat di tubuhnya yang panas terbakar birahi. Rasa yang amat kontras ini -panas dan dingin- menambah rangsang baru di diri Eksanti. Betul-betul unik permainan cinta kami kali ini. Betul-betul spontan dan tanpa tedeng aling-aling. Inilah yang selama ini diimpikan Eksanti jika bercinta. Beruntung sekali ia mendapatkan pasangan bercinta sepertiku.
Sambil mulai menggerak-gerakan pinggulku, menghujam-hujamkan kejantananku, aku pun menunduk mulai memakani sayur-sayuran. Eksanti telah pula menaburkan saus tomat dan mentega cair di atasnya, sehingga benar-benar menjadi santapan lezat. Sedap sekali rasanya memakan sayur segar di atas tubuh wanita yang menggairahkan ini. Sambil menikmati pula cengkraman otot kenyal di bawah sana yang mengurut-urut kejantananku. Wow!
Aku bagai berada di langit ke tujuh. Fantasi seksualku tersulut dengan cepat, membakar badanku, menyediakan energi berlipat ganda untuk terus bercumbu dan bercumbu lagi.
Eksanti merintih-mengerang merasakan bagian-bagian dari tubuhnya ikut tergigit ketika aku menyantap "sayuran" di atas tubuhnya. Hal ini menambah nikmat permainan cinta kami, dan sekali lagi, tanpa dapat dicegah, orgasme keempat datang menderu memenuhi tubuh Eksanti yang memang sudah sangat sensitif ini. Sedikit saja gerakanku mampu menimbulkan kobaran birahi yang membahana. Sedikit saja aku memaju-mundurkan kelaki-lakianku, Eksanti sudah menjerit-jerit kecil merasakan kenikmatan yang berlipat ganda. Pada saat Eksanti mencapai klimaks, aku menggigit seiris tomat di puting Eksanti, dan secara tak sengaja menggigit pula puting itu. Eksanti menjerit karena ada rasa perih, tetapi jeritannya segera berubah menjadi erangan karena aku pun segera menyadari "kecelakaan" itu, dan mengubah gigitannya menjadi kuluman. Rasa perih segera bercampur dengan geli, cepat sekali membuat Eksanti menggeliat kuat dan menyerah pada gelombang-gelombang besar puncak birahinya.
Ketika semua sayuran telah habis, Aku tidak lagi memiliki kegiatan lain selain menggenjot menghujam-hujamkan kejantananku. Setelah sekian lama menahan diri dan memberikan empat orgasme kepada Eksanti, kini aku membiarkan klimaksku sendiri datang menyerbu. Aku mempercepat hujaman-hujaman kejantananku, tidak mempedulikan Eksanti yang sebenarnya belum lagi selesai dengan klimaks terakhirnya. Eksanti masih menggelepar-gelepar merasakan akhir dari klimaks itu, tetapi aku telah pula memberikannya kenikmatan baru. Tubuh Eksanti berguncang, menggeliat, meluncur hampir terjatuh dari meja yang kini penuh keringat bercampur air bekas sayuran, saos tomat, dan sebagainya. Aku cepat-cepat menahan tubuh itu, mencengkram bahunya dengan kuat. Eksanti cepat-cepat pula berpegangan pada pinggir meja.
Dengan erangan yang menyerupai banteng terluka, Aku akhirnya melepaskan salvo-salvo birahiku, menumpahkan banyak sekali lahar putih pekat yang muncrat sangat kuat dari ujung kejantananku. Eksanti entah sedang berada di langit yang keberapa, tidak bisa merasakan semprotan-semprotan hangat di dalam kewanitaannya, karena ia sendiri sedang meregang menikmati klimaks kelimanya yang datang menyambung akhir klimaks sebelumnya. Kedua kakinya erat menjepit pinggangku. Matanya terpejam. Mulutnya menganga dengan suara-suara tertahan seperti orang tercekik. Payudaranya berguncang-guncang hebat.
Sebuah desahan yang panjang akhirnya keluar dari mulut Eksanti, setelah segalanya mereda. Aku terkulai menindih tubuh Eksanti. Meja pantry berantakan. Botol saos tomat akhirnya terguling tanpa dapat dicegah. Untung botol itu kuat sehingga tidak jatuh berkeping. Tetapi isinya bermuncratan ke mana-mana, bercampur potongan-potongan sayur, tebaran nasi putih yang belum sempat di masak, lelehan mentega cair dan beberapa buah tomat yang jatuh bergelindingan. Kacau sekali!
"Oocch, Mas.. kamu harus membantu Santi membersihkan pantry!" begitu kata Eksanti setelah kami mampu berbicara lagi.
Berdua kami tertawa terbahak-bahak mengenang kegilaan-keedanan yang baru saja kami lalui.
Makan malam kali ini terpaksa ditunda. Setelah membersihkan pantry, Eksanti dan aku kehilangan nafsu makan. Sebaliknya, setengah jam kemudian kami telah terlihat bergumul di kamar tidur. Percumbuan dilanjutkan, tetapi dengan tempo yang jauh lebih lambat, dan dalam rentang waktu yang jauh lebih lama.
Kami tak perlu khawatir, karena di seberang tempat kost Eksanti ada restoran nasi goreng yang buka 24 jam.
Selamat menikmati hidangannya!
BalasHapus